MEMBEDAH AKAR MASALAH MADRASAH
Jumat, 7 Desember 2012 | |
Oleh : Kaswin Mahmud
Diskrimininasi Terhadap Madrasah sebanarnya bukanlah sebuah isu yang baru, tetapi isu lama yang tidak pernah teselesaikan sehingga madrasah berlarut-larut dalam masalahnya sendiri. Permasalahan ini sebagai akibat daripada adanya hegemoni kekuasaan, pertama terlihat melalui aturan main kurikulum madrasah yang “banci” dan kedua melalui pembiayaan madrasah yang bertendensi dikhotomi jika dibandingkan dengan sekolah umum. Keadaan yang demikian menjadikan madrasah tumbuh dan berkembang ibarat pepatah hidup segan mati tak mau. Dalam kondisi seperti ini, betulkah hegemoni kekuasaan dan dikhotomi kebijakan sebagai penyebab “runtuhnya” kualitas madrasah? Menjawab permasalahan ini perlu dilakukan pendekatan ruang-waktu, sehingga ditemukan varian-varian lain yang ikut dominan penyebab terperlesetnya mutu madrasah.
Di Indonesia sebelum madrasah populer telah
berkembang institusi pendidikan Islam lokal yang independen. Di
Minangkabau misalnya, telah muncul institusi pendidikan Islam surau, di
pulau Jawa lebih populer pondok pesantren. Institusi pendidikan Islam
lokal tersebut, telah berhasil memembangun sumber daya umat Islam pada
zamannya. Tetapi ketika datangnya kolonialisme memperkenalkan sistem
pendidikan modren, institusi lokal mulai buyar dan mulai dipandang
sebagai institusi pendidikan kelas dua oleh masyarakat.
Setidaknya ada dua permasalahan yang membuyarkan,
pertama pendidikan Islam lokal yang independen itu lebih bersifat
tekstual, sementara alam kehidupan berkembang dengan begitu cepat,
perkembangan itu selalu menuntut kearah penguasaan materialisme. Konsep
penguasaan “materialisme” inilah yang kurang dalam institusi pendidikan
Islam ketika itu. Fenomena yang demikian oleh kolonialisme dijelaskan
dengan Islam ortodok, Umat Islam yang tidak mau memberikan ruang
hidupnya kepada dimensi kompetisi dunia. Disinilah awal kekalahan teori
pendidikan umat Islam dalam penguasaan dunia, sehingga dalam rentang
waktu yang begitu mensejarah di negara ini tidak lahir teori-teori lokal
yang berasaskan Islam tentang penguasaan material ini.
Akhirnya berpengaruh terhadap keberadaan sekolah
agama. Sekolah agama diorientasikan sekolah “akhirat”, image semacam itu
berkembang luas dalam masyarakat Indonesia yang mengalami perubahan
besar. Kedua, pengelolaan madrasah yang stagnan dan tidak mampu meracik
sistem reinventing, sehingga madrasah lambat mengikuti perubahan
masyarakat yang begitu cepat dan kompleks. Baru sekitar awal abad 19
setelah kembalinya para pelajar Indonesia menuntut ilmu di beberapa
negara Timur Tengah termasuk di Mesir, institusi pendidikan Islam mulai
diperbaharui dengan cara mengadopsi sistem pendidikan Timur Tengah
tersebut, sehingga madrasah menjadi populer. Madrasah berkembang di
berbagai kawasan di Indonesia, di Sumatera Barat waktu itu ikon madrasah
dipegang oleh Sumatera Thawalib, Diniyah Putra dan Putri.
Namun setelah Indonesia merdeka, institusi-institusi
pendidikan Islam ini memasuki dunia politik, pasang surut kualitas
madrasah semakin tampak. Jati diri madrasah terombang ambing kedalam dua
kepentingan yang tidak berkesudahan, antara kepentingan politik dan
umat. Tarik menarik dua kepentingan ini, nampaknya ikut memberikan
peluang tidak bergimingnya madrasah sebagai agent transformasi sosial
umat Islam di Indonesia, sementara sekolah-sekolah umum yang modern
semakin menampakkan jati dirinya seperti yang dipersepsikan oleh
masyarakat sebagai penyelamat dunia material. Imege terhadap madrasah
mulai berkurang, masyarakat lebih memilih menyekolahkan anak-anaknya ke
sekolah umum ketimbang ke madrasah.
Keadaan kualitas madrasah yang tidak stabil itu
akahirnya masuk dalam cakrawala nasional, sehingga madrasah menjadi
objek dalam sistem pendidikan nasional. Oleh sebab itulah, terjadi
perubahan-perubahan kurikulum dalam madrasah. Madrasah mulai menghadapi
kurikulum keberimbangan, antara pendidikan umum dan pendidikan agama,
kemudian dipercepatlah menjadi 70% pendidikan umum dan 30% pendidikan
agama, dengan tujuan untuk memicu lari mutu madrasah dan skaligus untuk
menghilangkan stigma masyarakat yang memandang madrasah sebagai kelas
pendidikan nomor dua.
Dibalik pergerakan perubahan itu, apa sesungguhnya yang terjadi. Mutu madrasah tetap saja berjalan ditempat. Malah madrasah kehilangan jati dirinya sebagai institusi yang fokus dengan pendidikan Islam. Untuk mengkonter kondisi tersebut maka lahirlah madrasah khusus, terutama pada tingkat aliyah, yang fokus dengan pendidikan agama Islam. Namun, madrasah-madrasah yang setengah umum dan setengah agama tetap berada dalam muara kebingungan dan jati dirinya yang tidak jelas. Membebaskan Madrasah
Menilik daripada perjalanan jatuh bangunnya madrasah
dalam pentas pendidikan di Indonesia, sebuah kesimpulan yang perlu di
bebaskan adalah kultur madrasah yang soft culture, yaitu adanya sebuah
budaya kelemahkarsaan dalam membangun jati dirinya, sehingga madrasah
terombang ambing dalam kecepatan perubahan yang terjadi. Sesungguhnya
Departemen Agama yang pada umumnya sebagai pemilik madrasah sudah harus
mempunyai ruang wacana yang konstruktif ke arah mana madrasah ini
digiring sehingga madrasah mampu tampil dengan jati dirinya yang
sesungguhnya, tidak bermain dalam “ikut-ikutan”, seperti yang terlihat
selama ini. Permasalahan mutu, harus dilihat secara holistik, tidak
hanya dilihat dari segi minimnya dana pendidikan yang dikucurkan
pemerintah tetapi juga harus dilihat dari peta “dalam” yang berlaku
dalam madrasah. Penglihatan peta dalam ini, yang paling urgen tentang
bagaimana madrasah berkontestasi selama ini perlu
dicerna oleh Depertemen Agama. (***)
|